Selasa, 10 Januari 2012

Riuh Rendah Musik Indonesia menurut Jeremy Wallach

Terus terang, saya bukan pembaca yang rajin untuk literatur budaya populer Indonesia mutakhir. Beberapa karya terakhir yang saya baca tentang overview mutakhir musik populer di Indonesia adalah buku karya Ariel Heryanto, dan David Hill bersama Krishna Sen. Dalam tulisan-tulisan tersebut, pembahasan musik populer hanya menjadi sub-bagian dari keseluruhan buku dan tidak banyak juga yang berbicara tentang musik pop.
Buku karangan Jeremy Wallach berjudul Modern Noise, Fluid Genres: Popular Music in Indonesia, 1997-2001 (2008, Wisconsin University Press) melakukan lebih jauh dari itu semua.
Dari judulnya sudah jelas bahwa buku ini tidak hanya membahas musik pop di sekujur teks. Namun juga berbicara tentang riuh-rendah musik pop—dan rock serta dangdut—di era pasca Orde Baru. Sebagai buku hasil penelitian partisipatif yang berat di metodologi dan teori, buku ini tetap mencekat untuk dibaca.
Sehari setelah menerima buku tersebut dari seorang kontributor Jakartabeat.net beberapa minggu lalu, saya langsung menyelesaikan lebih dari 120 halaman dari total 320 halaman buku yang menarik ini. Tak lama kemudian buku ini selesai saya baca.
Presentasi detail tentang bagaimana musik di Indonesia diciptakan, dipentaskan, dijual terasa sangat kaya. Kadang sangat menggelitik serta jenaka. Saya membayangkan sambil membalik halaman-halaman buku ini, sang penulis sedang mengetik di komputer dengan wajah yang deadpan tanpa ekpresi atau dia sedang kaget dan kagum, bewildered dengan kondisi aktual di lapangan serta kemudian menulis apa-adanya. Atau ya mungkin begitu hasil kerja dari metode penelitian kualitatif yang partisipatif.
Sebagai etnografer, Wallach juga sangat rajin dan pemahamannya tentang cultural minutiae juga sangat fasih. Kadang saya berharap dia salah mengeja atau salah memahami inside jokes misalnya tentang skena musik di Jakarta. Namun saya tidak pernah menemukan kesalahan itu di buku ini.
Bagian di mana Wallach mendeskripsikan musik sebagai sarana pengikat sosial di warung rokok di tiga tempat di Jakarta adalah contoh penelitian partisipatif kelas satu yang bisa segera menjadi klasik. Bagaimana dia menjelaskan solidaritas sosial cepat menghilang ketika transaksi sudah mulai memasuki ranah yang kapitalistik dan bagaimana berhutang bisa menjadi semacam social safety net yang paling ampuh di Jakarta.
Di bagian lain tentang distribusi artefak musik — yang pernah saya baca sebelumya di jurnal Universitas Cornell Indonesia edisi tahun 2002 berjudul “Exploring Class, Nation and Xenocentrism in Indonesian Cassette Retail Outlets” — Jeremy misalnya bisa mencari makna politis tentang bagaimana kaset ditempatkan di rak.
Di pembahasan tentang dangdut — yang paling mencekat dibandingkan bab lain di buku ini — saya hampir tidak bisa berhenti tergelak membaca apa yang si penulis paparkan tentang aktivitas menikmati musik dangdut di dalam pertunjukan musik live.
Ia menulis: “Getting rid of stress” (hilangi stress) was the most commonly voiced justification for male behaviour in dangdut bars. Activities like dancing to dangdut music, watching attractive singers, and consuming alcohol were necessary for relieving stress, which many men viewed less by one’s problems than by constantly worrying about them.”
Itu tentang motivasi menyaksikan dangdut, jadi penyebab stress bukan masalah hidup itu sendiri, namun stress datang dari terlalu memikirkan masalah itu sendiri.
Dan ini tentang wanita yang menyaksikan pertunjukan dangdut:
Young women were less common, particularly at nighttime events; those who attend these performances, especially without boyfriends or husbands, were said to be “brash” or “brave” (berani)".
Tiga hari saya baru berhenti memikirkan temuan baru Wallach ini, yang malah justru saya sering saksikan di pertunjukan dangdut di kampung saya dahulu.
Argumen utama buku ini kurang lebih adalah bahwa musik di Indonesia tidak pernah hanya menjadi fotokopi dari apa yang datang dari luar. Di Indonesia, musik diappropiasi, dipahami, diberi konteks lokal, dan bisa menjadi sarana perlawanan, sarana pembangun identitas kolektif, dan yang pasti tidak pernah menjadi hanya hiburan semata.
Tentang musik dangdut misalnya. Jeremy di bab kesimpulan buku ini menulis bahwa genre ini adalah alat untuk mengeskpresikan identitas, aspirasi dan penderitaan di ranah publik. Ia menulis:
For most of Indonesian history, especially since the beginning of the New Order, the working- and lower-class national majority—the rakyat kecil (little people)—have had little voice in national public discourse (Weintraub 2004,127). As a consequence, the most prominent expression of their identities, aspirations and sufferings in the public sphere has been through popular music, especially in the form of the celebrated but highly controversial dangdut,”
Fakta bahwa dangdut sulit diterima oleh bagian kelas menengah Indonesia merupakan pencerminan dari persaingan dua diskursus identitas nasional yang dibangun oleh Soekarno dan Soeharto: pertarungan antara nasionalisme dan pembangunan-isme. “The continuing conflict between dangdut and the more middle-class-oriented and westernized pop Indonesia, not to mention Western imported music itself, can be viewed as nothing less than a battle between the competing visions of Indonesian national modernity: the collectivist, egalitarian national vision of Sukarno era versus the individualist, status-obsessed developmentalism of Soeharto’s new order,” demikian kesimpulan Jeremy.
Dalam beberapa hal, pembahasan tentang warisan ideologi pembangunanisme ini berusaha diteruskan oleh peneliti lain Emma Baulch dari Australian National University dalam tulisannya "Music for Pria Dewasa: Changes and Continuities in Class and Pop Music Genres", yang dimuat dalam  Journal of Indonesian Social Sciences and Humanities (vol.3, 2010).
Emma Baulch mencoba membangun argumen bagaimana sebuah majalah musik besar di Jakarta telah dengan sadar menempatkan dirinya sebagai pembela kepentingan kelas menengah atau young established executives. Majalah ini hendak memposisikan dirinya sebagai bacaan bagi pria dewasa, sebuah kategorisasi sosial yang tumbuh dari keberhasilan pembangunan ekonomi akhir Orde Baru.
Pria Dewasa yang di maksud oleh Emma ini adalah mereka yang mencoba mencari sofistikasi rasa dalam musik pop Indonesia dan pop Barat yang terus menerus dipromosikan oleh majalah musik tersebut. Dangdut atau gosip bagi majalah tersebut ,mengutip Baulch dalam tulisannya itu: “Leave all that for your housemaid’s entertainment,” hiburan untuk pembantu rumah tangga anda belaka. Demikian kuatnya warisan Orde Baru!
Tentang musik indie dan underground lebih menarik lagi. Segera setelah Orde Baru jatuh, banyak band-band muda cerdas yang mencoba mendobrak pemisahan kelas tersebut dengan menciptakan hibrida yang hendak melampaui elitisme maupun populisme.
Band-band seperti Soekarmaju dan Pemuda Harapan Bangsa yang memainkan hibrida baru musik underground dangdut sebagai media perlawanan sosial—yang juga mengingatkan saya pada musik subversif Pancaran Sinar Petromaks dari akhir dekade 1970-an. Untuk perlawanan ini, Jeremy menyamakan band-band dangdut underground tersebut dengan pionir-pionir rock seperti Talking Heads, Bob Dylan dan The Ramones yang mencoba mensabotase musik rock untuk keperluan pemberontakan mereka.
Bagi anak-anak underground yang tetap memainkan musik itu dalam bentuknya yang murni, mereka tetap mengedepankan identitas nasional dan menolak hanya menjadi epigon dari global metal. “Those who continue to play Western-derived underground music increasingly view their activities in terms of national, cross-class community of enthusiasts and in doing so many have turned to singing in Indonesian instead of in English,” Jeremy menulis di halaman-halaman terakhir.
Jadi kalau banyak band underground lokal yang kini menyanyi dalam Bahasa Indonesia itu merupakan bentuk perlawanan mereka terhadap elitisme dan pembangunan-isme Orde.
Bagi Jeremy, musik tidak pernah bisa lepas dari konteks sosial dan politik masyarakatnya. Dan ini adalah buku yang tepat untuk memahami musik Indonesia sebagai bagian penting dari totalitas masyarakatnya. Baca buku ini dan anda akan memahami musik Indonesia dengan cara yang baru.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes